MANOKWARI- (Maybrat News) - Kabar sukacita itu telah di bawa masuk seiring dengan mendaratnya 2 (dua) orang Zendeling (Penginjil) asal Jerman, Carl Willem Ottow dan Johann Gottlob Geissler di pantai pasir putih Pulau Mansinam, di depan bibir Teluk Doreh, yang kini dikenal dengan nama Teluk Doreri.
Kala itu, mereka berjumpa dengan wajah-wajah sangar dan tidak bersahabat
dari penduduk Pulau tersebut bahasanya pun belum diketahui oleh Ottow
dan Geissler, yang saat itu hanya ditemani seorang anak muda bernama
Fritz (12) adalah anak dari guru dari Ternate yang diserahkannya kepada
kedua zendeling guna menjai pelayan mereka.
Kedua penginjil tersebut sempat dipandang oleh orang asli Pulau Mansinam
tersebut sebagai orang asing yang hendak datang untuk merampas
kebebasan mereka,sehingga cepat atau lambat keduanya harus disingkirkan.
Perjalanan Ottow dan Geissler dari negeri Jerman itu ke Tanah Papua pada
tahun 1855 berlangsung dalam waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana ditulis
dalam buku : Fajar Merekah di Tanah Papua : Hidup dan Karya Rasuk Papua
Johann Gottlob Geissler (1830-1870) dan warisannya untuk masa kini, yang
disunting oleh Pdt.DR.Rainer Scheunemann, terbitan Panitia Jubelium
Emas 150 Tahun Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua, tahun 2004 silam.
Kisah Sekretaris Komisi HAM, Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan,
Badan pekerja GKI Manokwari, Yan Christian Warinussy,SH dalam press
releasenya yang diterima media ini.
Lanjut Christian, perjalanan panjang ke Tanah Papua dimulai dari
Berlin-Jerman ke Belanda pada tahun 1852 yang menurut catatan Geissler,
Tanah Papua (New Guinea) adalah tujuan dan kerinduannya.Dari Berlin ke
Belanda perjalanan mereka sebagian besar ditempuh dengan berjalan kaki
untuk menghemat biaya.
Pada tanggal 26 Juni 1852 malam hari, Ottow dan Geissler berangkat dari
Rotterdam, Belanda menuju Batavia (kini Jakarta) dengan menumpang kapal
Abel Tasman.
Tanggal 7 Oktober 1852 mereka tiba di dengan selamat di Batavia dan
kesabaran mereka diuji, karena mereka harus menunggu disana selama
kurang lebih 2 (dua) tahun, yaitu tepatnya pada bulan April 1854 barulah
ada kesempatan untuk mereka meninggalkan Batavia untuk menuju tanah
kerinduan mereka, yaitu Papua.
Kenapa mereka menuju Pulau Mansinam? Karena di Batavia ada seorang
saudagar muda bernama Ring yang telah mendirikan sebuah perkumpulan
misi, dan dia mendapat informasi, bahwa di Pulau kecil Mansinam dekat
Manokwari hidup orang-orang yang terbuka. Menurut catatan bahwa waktu
itu (1854), Tanah Papua tertutup dan penduduknya dianggap buas serta
menolak orang asing.
Perjalanan dari Batavia menuju ke Ternate, wilayah otoritas pemerintahan
Kesultanan Tidore saat itu, dimana Sultan Tidore sendiri tidak
keberatan apabila kedua rasul tersebut datang ke Mansinam. Hal itu
ditandai dengan diberikannya surat jalan kepada kedua Zendeling oleh
Sultan Tidore yang oleh penduduk Pulau Mansinam diakui kekuasaannya di
bawah Pemerintahan Belanda waktu itu.
Pelayaran dari Ternate dengan menumpang kapal Ternate pada bulan Januari
1855 itu akhirnya tiba di Pulau Mansinam pada tanggal 5 Februari 1855
tepat pukul 6 pagi bersamaan dengan fajar yang merekah di ufuk Timur
Tanah Papua, jangkar kapal dibuang untuk berlabuh di Teluk Doreh.
Keberadaan mereka di Pulau Mansinam dimulai dengan tinggal sementara
waktu di sebuah gubuk peninggalan pelaut di tepi pantai pulau tersebut
dan berupaya untuk dapat mencapai pantai Manukwar (kini Manokwari)
dengan mulai membuat perahu.
Ketika mereka berhasil membuat sebuah perahu yang dapat mengantar mereka
berdayung hingga tiba di bibir pantai Manukwar, mereka mendapati
seluruh pantai dipenuhi hutan rimba. Sehingga beberapa hari harus
bekerja menebangi pohon-pohon dan pada malam harinya mereka kembali ke
Mansinam.
Akibat keras bekerja itu, maka mereka bertiga (otow, Geissler dan Fritz)
sempat jatuh sakit secara beruntun, walau akhirnya mereka bisa pulih
setelah diserang penyakit malaria. Akan tetapi semangat mereka untuk
membuka tabir peradaban hidup Orang Papua yang dipandang primitif,
sangar, buas dan tidak bersahabat telah mendorong mereka untuk terus
kuat bertahan dan bekerja selama mungkin.
Hasilnya, untuk kepentingan komunikasi, maka mereka mempelajari bahasa
lokal penduduk Mansinam, yaitu Bahasa Numfor (Mafoor), dan mereka juga
berhasil menyusun sebuah kamus berisi 1500 kata dalam bahasa Numfor yang
diserahkannya kepada komisi ilmu pengetahuan Belanda yang diutus ke
Mansinam pada tahun 1858.
Dengan modal memahami bahasa Numfor dengan ditambah pemahaman atas
bahasa Melayu, maka proses penginjilan dapat berjalan dengan semakin
baik di Pulau Mansinam dan Manokwari, sebagai tempat pertama Injil
Kristus mulai ditanamkan oleh kedua Rasul tersebut.
Hal itu terbukti nyata, ketika mereka berdua dapat mengajarkan Doa Bapa
Kami dalam bahasa Numfor yang menjadi alat ampuh untuk semakin
mendekatkan pemahaman dan hubungan dalam konteks penginjilan dengan
orang-orang asli di Pulau Mansinam pada masa tersebut.
Tantangan dalam penginjilan juga dihadapi bukan saja dari penduduk asli
Pulau Mansinam, tetapi juga dari para bajak laut yang seringkali datang
ke Pulau tersebut dengan tujuan merampok dan membunuh.
Ottow dan Geissler seringkali terlibat dalam upaya mereka membela
penduduk pulau ini dengan mengejar dan berupaya membebaskan para tawanan
bajak laut tersebut. Pembebasan itu tidak dicapai dengan cara-cara
mudah, karena kedua zendeling juga harus terlibat pertarungan fisik yang
sengit dan melelahkan dengan para bajak laut tersebut. Ini menjadi
bukti betapa tantangan yang dihadapi para pembawa injil tersebut tidak
mudah dan sangat berat saat itu. Pada tanggal 9 November 1862, Ottow
meninggal dunia di Manokwari dan dimakamkan di Kwawi, Kabupaten
Manokwari. Kemudian Geissler wafat pada tanggal 11 Juni 1870 di Siegen,
Jerman.
Meskipun kedua zendeling tersebut sudah wafat, tetapi buah dari
pekerjaan mereka yang pertama kali mendaratkan Injil di Pulau Mansinam,
Tanah Doreri tersebut hingga saat ini telah berbuah dan bertambah banyak
memenuhi seluruh persada Tanah Papua. Sehingga senantiasa diperingati
oleh kalangan Gereja Kristen maupun dengan dukungan pemerintah daerah
ini sebagai suatu waktu dimana peradaban orang-orang asli Papua telah
dirubah dari sebutan dahulu sebagai bangsa biadab menjadi bangsa yang
beradab dan memiliki martabat dan hak asasi yang sama dengan seluruh
penduduk bumi ini.
Jurnalis : Mrk
Fotografer : Mrk
Editor : Mrk